Jumat, 25 Maret 2022

“UMAT ISLAM DI MASA REFORMASI"

 “UMAT ISLAM DI MASA REFORMASI"

KATA PENGANTAR

      Segala keberkatan, keberkahan, keindahan tercurah hanya untuk Allah swt. yang memberikan anugrah, hidayah serta rahmat dan karuniat bagi kelompok kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini sebagai rasa tanggung jawab terhadap amanah yang diamanatkan kepada saya.  Makalah ini adalah tugas yang diberikan pada mata kuliah Sejarah    Pergerakan Nasional Indonesia Ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Bapak Dr. Umar Sulaiman, M.Pd. sebagai dosen pengampuh pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Indonesia yang telah memberikan bimbingan selama ini. 

  Makalah ini diharapkan menjadi penambah wawasan dan juga pengetahuan untuk mahasiswa,dosen ataupun pembaca. Tentunya makalah yang kami ini perlu di tindak lanjuti baik di berikan tambahan atau di kurangi, oleh karenanya, kami berharap adanya saran ataupun kritikan yang sifatnya dapat memberikan motivasi dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah ini kedepannya.

 Gowa 24 November 2021

 

 (Amirullah UIN Alauddin Makassar),


BAB I

PENDAHULUAAN

A. Latar Belakang

        Tercatat dalam sejarah bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M atau bertepatan dengan tahun 1 Hijriah, dan semakin meluas pada abad ke-13 M. Keberhasilan Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, serta menjadikan dirinya sebagai agama utama bangsa ini, merupakan prestasi luar biasa. Hal ini terutama bila dilihat dari segi geografis, di mana jarak Indonesia dengan negara asal Islam, Jazirah Arab cukup jauh. Dengan demikian, kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia termasuk paling dinamis. Keberhasilan Islam menyebar dan menyusup ke tengah-tengah masyarakat Indonesia pada awalnya, belum didukung dengan adanya semacam organisasi atau metode dakwah yang efektif seperti sekarang ini. Organisasi Islam pada waktu itu, mungkin baru merupakan perkumpulan beberapa orang yang melakukan keinginan bersama untuk menyebarkan ajaran Islam. Nantilah pada tahun 1990-an, organisasi-organisasi Islam mulai bermunculan. 

        Memasuki era reformasi, atau bersamaan dengan turunnya Soeharto dari tahta kepresidenan, di samping organisasi-organisasi Islam tadi tetap bertahan, muncul lagi organisasi-organisasi Islam radikal dan fundamental. Di satu sisi munculnya organisasi radikal dan fundamental, manandakan bahwa Islam di Indonesia semakin berkembang. Namun di sisi lain, perkembangan itu disertai kemunduran oleh sebab nama Islam sering diidentikkan dengan terorisme. Para pelaku teror, dan peledakan di mana-mana adalah orang Islam sendiri. Di era reformasi pula, parta-partai Islam banyak bermunculan, dan hal ini merupakan bukti bahwa Islam semakin berkembang di negara ini. Namun hal itu bukan satu-satunya barometer oleh sebab partai-partai Islam tersebut tidak begitu unggul ketimbang partai-partai lain tidak berafiliasi pada nama Islam. Justru yang menang mutlak pada pemilu tahun 1999 adalah PDI-P yang jelas-jelas bukan partai yang berafiliasi Islam. Berkenaan dengan itulah, sangat menarik bila eksistensi Islam di Indonesia dewasa ini, dicermati dalam dibahas secara mendalam. Sejalan dengan uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah pokok yang dikaji dalam tulisan ini adalah, bagaimana perkembangan Islam di Indonesia era reformasi. Untuk kajian lebih lanjut, berikut ini dikemukakan permasalahan yakni, bagaimana sejarah Islam di Indonesia pra-reformasi, dan bagaimana dinamika perkembangan Islam di era reformasi ini? Sejarah Islam Pra-Reformasi ini?

B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana Sejarah Islam Pra-Reformasi?

    2. Bagaimana Dinamika Perkembagan Islam di Era Reformasi?

    3. Bagaimana Islam dan Pancasila di Era Reformasi?

C. Tujuan Penulisan

    1. Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah Islam Pra-Reformasi

    2. Untuk Mengetahui Bagaimana Dinamika Perkembagan Islam di Era Reformasi

    3. Untuk Mengetahui Bagaimana Islam dan Pancasila di Era Reformasi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Islam Pra-Refoermasi 

      Kedatangan Islam ke Indonesia, pada awalnya melalui jalur perdagangan, dan penerimaannya memperlihatkan dua pola yang berbeda, yakni bottom up, dan top down. Para pendakwah Islam, datang di negara ini dengan menggunakan kapal layar dan berlabu di bandar Perlak, bersama dengan pelaksana dakwah berjumlah 100 orang terdiri dari orang Arab, orang Persia, dan orang India yang dipimpin oleh nahkoda khalifah. Mereka ini menyebarkan agama dengan metode ceramah di kampung-kampung dan metode kawin-mawin dengan keluarga istana. 

     Dengan pendekatan kepada raja, maka Islam berkembang dengan cepat, sehingga dikenal Kerajaan Islam pertama adalah Perlak, Samuri, dan Pasai. Di samping itu, dikenal pula Kerajaan Siak I (Riau) memegang peranan sebagai kerajaan di selat Malaka yang menguasai arus perdagangan antara India, Cina, dan Singasari (Majapahit). Penyebaran Islam diperkirakan pada abad ke- 12 M. ini dapat dilihat peninggalan kuburan Butaken (1128 M) yang bercorak Islam, yaitu kuburan Nizamuddin al-Kamil Loksomawe dari dinasti Fatimiah. Pada Kerajaan Siak ini, memiliki penyiar agama dari negeri Arab di antaranya Sayid Usman bin Syahabuddin, seorang ulama yang alim yang berdakwah di Riau, karena raja menyukai akhlak beliau, maka dikawinkan dengan Badaria putri kerajaan Siak. 

    Keturunannyaalah yang memegang kesultanan di Riau, dan selanjutnya melaksanakan dakwah ke Kalimantan barat sambil mengajarkan ilmu agama kepada para penduduk. Dilihat dari dinamika tersebarnya agama Islam di Aceh (Sumatera) bisa dikatakan tidak menghadapi tantangan yang berarti, karena dengan pendekatan kekeluargaan dengan penyesuaian diri secara autoplastis dan alloplastis dapat mengIslamnkan para raja dan pemuka masyarakat sampai membentuk kerajaan Islam. Hal ini tidak berbeda dengan cara berdakwah para wali songo di Jawa, dengan metode dakwah kultural, saat itu sangat kental dengan tradisi Hindu dan Budha. Di samping itu, walisongo membangun mesjid sebagai sarana pusat atau media penyiaran agama. Sama halnya di Sumatera, dan Pulau Jawa, para ulama penyiar agama dari Arab mengembangkan sayapnya ke Kalimantan dan mendekati para raja untuk memeluk Islam dan menjadikan kerajaan Islam yang di pimpinnya.

  Diantaranya adalah kerajaan Tanjuppuara, Kerajaan Sambas. Di Kalimantan Barat, dikenal Kerajaan Pontianak. Demikian pula di Kalimantan Selatan dan Timur dimana Islam masuk di zaman Ali, Raja Mahkota (1526-1600 M). Di samping itu, di Sulawesi Selatan dikenal Kerajaan Gowa, kerajaan terbesar sesudah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Agama Islam masuk pada masa Raja Gowa IX, sekitar tahun 1583. Sultan Babullah datang ke Kerajaan Gowa dan menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan dan tengah, bersamaan dengan pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Johor, Pasai di Sumatera. Tercatat pula dalam sejarah bahwa daftar nama raja-raja Gowa yang pernah memerintah di Gowa sebanyak 36 orang. Dikenal nama I Manga’raungi Daeng Manrabbia Raja Gowa XIV yang diberi gelar Sultan Alauddin. Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Malingkang Daeng Nyonri Karaeng Katangka (Raja Tallo) yang masuk Islam pada tanggal 22 September 1605 M digelar Sultan Abdullah al-Islam, dan atas inisiatif Sultan Alauddin bersama pengikut muslim mendatangkan tiga orang ulama untuk kerajaan Gowa, dalam upaya penyebaran Islam lebih lanjut.

     Pada abad ke-XVI, seluruh masyarakat Sulawesi Selatan telah menganut agama Islam, kecuali Tanah Toraja. Pada abad ini dikenal Raja Gowa yang XV yaitu Sultan Malik al-said (1639-1653). Saat itu, Kerajaan Gowa menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara bagian Timur seperti Bima, Sumbawa, Timor, Sulawesi tengah, Sulawesi Utara sampai ke Bali, Brunai dan Kutai. Sedang raja Gowa XVI adalah raja I Mallombasi Daeng Tawang Karaeng Bontomarannu yang dikenal dengan sultan Hasanuddin dengan keberaniannya menentang penjajahan Belanda, yang akhirnya raja ini mendapat anugerah sebagai pahlawan nasional. Dalam peta keagamaan, terbaca bahwa para ulama penyebar agama yang didukung oleh kerajaan di seluruh nusantara, mereka telah mewakafkan dirinya di nusantara ini sehingga dengan cepat agama Islam tersebar ke seluruh pelosok tanah air, sampai kita merebut kemerdekaan tahun 1945. Kondisi setelah merdeka dengan dipimpin oleh presiden yang nasionalis, Soekarno, menimbulkan berbagai problem bagi umat Islam, kalaupun jauh sebelum merdeka sudah ada gerakan sosial keagamaan seperti organisasi Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Umat Islam, dan Perserikatan Umat Islam. Pada pase ini, penyebaran agama melalui lembaga organisasi keagamaan dan partai politik Islam, di samping penyebaran secara tradisional lewat ceramah-ceramah, dan yang paling berpengaruh dalam gerakan Islam ialah Majelis Syuro Muslim Indonesia (MASYUMI).

    Hampir semua organisasi Islam sebagai dasar partai dan selalu bercita- cita menegakkan ajaran Islam dalam masyarakat dan negara. Kaitan dengan ini, Muhammad Natsir (Pimpinan Masyumi) dalam hal konsep mengenai hubungan antara Islam dan negara tidak bergantung pada ada tidaknya Islam, tetapi pencapain terhadap kemakmuran dan keadilan rakyat. Pandangan yang moderat ini, mampu memberikan perspektif yang dingin ketika menghadapi Soekarno, seorang presiden dan pemimpin nasionalis yang memperdebatkan tentang sikap gerakan Islam terhadap “Pancasila”. Beberapa pikiran dan dinamika gerakan Masyumi di antaranya, pandangannya atas negara kesatuan yang merupakan jawaban atas politik pecah belah Belanda, usulnya yang dikenal dengan nama “mosi integral” kemudian dipakai negara untuk menetapkan bentuk negara kesatuan. Muhammad Nasir juga melibatkan diri dalam Dewan Dakwah Islam (DDI) yang didirikan untuk melawan arus sekularisme dan kristenisasi. Selanjutnya patut dicatat kebajikan Masyumi dalam soal perumusan dasar negara semula masalah ini bisa beres dengan pencutman tambahan katakata dengan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. 

      Tetapi pada tanggal 18 Agustus 1945 kalimat yang populer dengan “Piagam Jakarta” dihapus. Muhammad Nasir barisan pendukung idiologis Islam berhadapan kembali dengan barisan nasionalis. Dengan berbagai problematika Masyumi sebagai partai politik Islam, dibubarkan dan beberapa tokohnya ditangkap15 dan diadakan penindasan, serta dipenjara sampai terjadi persaingan antara kekuataan PKI dengan militer, dan berakhir pada peristiwa G.30 September 1965. Masa ini dikenal dengan masa Orde Lama. Kemudian di masa Orde Baru, masjid merupakan corong dakwah sebagai media penyiaran agama dan acapkali menyuarakan protes pada beberapa langkah restruktualisasi Orde Baru.

   Dalam istilah Kuntowijoyo muncul gejala pada masa ini sebuah “Islamo-phobia” yang memandang Islam sebagai ancaman negara, maka pada tahun 1984, di Jakarta Utara (Tanjung Priok) terjadi konflik terbuka antara tentara dengan massa umat Islam yang menelan banyak korban, termasuk seorang aktivitis 66 dan juga pengusaha muslim yang sukses yakni Amir Bibi. Pada pemerintahan Orde Baru, “kecurigaan” yang mewarnai pola piker umat, terutama antara Kristen da Islam, misalnya tumbuh suburnya “kristenisasi” dan pemanfaatan rumah sebagai tempat ibadah bagi umat Kristen, dan umat Islam selalu dicurigai karena sering memberikan masukan kepada pemerintah, misalnya tidak bisa mencegah pelanggaran antara lain tentang pelanggaran SKB Mendagri dan Menag No. 1 tahun 1969, SK Meteri Agama Nomor 70 dan 77 tahun 1978 tentang penyiaran agama. Di samping itu, perlu juga digarisbawahi bahwa dengan berbagai per- masalahan yang terjadi, maka pemerintah (Orde Baru) mulai melakukan proses perubahan di tubuh “militer” dan juga “Golkar”.

    Berbagai kebijakan yang ditempuh Orde Baru untuk mendekatkan dengan kepentingan kalangan Muslim seperti, disahkannya UUD Pendidikan Nasional 1989/UUD Pendidikan Agama (1989), Kompilasi Hukum Islam (1991), kebijakan baru Jilbab (1991), serta penutupan SDSB (1993). Sebelumnya itu, sudah ada kebijakan Orde Baru dalam mengakomodasi kepentingan politik Islam adalah pembentukan Bank Muamalat, serta didirikan- nya ICMI (1990). Namun, kebijakan ini mengkhawatirkan di kalangan sebagian umat, tentang pembentukan negara Islam, dan sasaran kritik adalah keter- gantungan terhadap bantuan asing, dan jatuhnya korban serta hilangnya sejumlah mahasiswa semakin menyudutkan presiden Soeharto. Maka pada tanggal 21 Mei 1997, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden.

B. Dinamika Perkembangan Islam di Era Reformasi

        Reformasi menurut kamus ilmiah populer berarti perobahan; perbaikan atau pembentukan baru. Artinya adalah perubahan yang dilakukan secara radikal untuk perbaikan sosial, ekonomi, budaya, politik atau agama disuatu masyarakat. Khusus dalam soal agama, yang dimaksud bukan perubahan atau merubah syari’at, sebab syari’at selamanya tidak akan berobah. Akan tetapi yang dirobah ialah pemikiran atau interpretasi terhadap syari’at itu sendiri sehingga lebih cocok dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an. Sesungguhnya term-term yang muncul disekitar makna perobahan itu, seperti rekonstruksi (penyusunan kembali), reaktualisasi (penyadaran kembali), reinterpretasi (penafsiran kembali) dan berbagai term lainnya, juga berisi konsep-konsep perbaikan dan penataan kembali hal-hal yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan peradaban.

        Tuntutan perobahan itu muncul karena adanya kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan norma dan aturan- aturan hukum yang berlaku dimasyarakat. Bila pengertian reformasi dikaitkan istilah “era” yang berarti waktu dan masa yang sedang berlangsung, maka era refomasi yang dimaksud dalam konteks keindonesiaan adalah bermula Semenjak Habibi menggantikan Soeharto menjadi presiden. Masa ini sangat dikenal seluruh masyarakat yang dianggap menjadi penyelamat bagi kehidupan mereka, bahkan dianggap segala- segalanya. Ia muncul sebagai akibat dari keterpurukan ekonomi yang berdampak pada semakin beratnya beban hidup masyarakat. Di sisi lain, era reformasi boleh dikatakan sebagai hasil usaha bersama kelompok nasionalis (abangan) dan Islam (santri), dengan tema sentral memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Reformasi dalam Islam identik dengan ishlāh, yakni memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu yang belum sempurna, termasuk mengganti yang usang dan rusak. Karena itu di Era Reformasi para tokoh Islam dituntut untuk mencermati situasi global yang melahirkan beberapa revolusi karena dinamika era reformasi mengakibatkan bangsa Indonesia menghadapi problamtika besar, yakni belum mampu keluar dari lilitan krisis ekonomi yang telah berlangsung demikian lama, dalam waktu yang bersamaan ancaman disintegrasi bangsa benar-benar merupakan sesuatu yang sangat nyata di pelupuk mata.

      Bermula dari Pemilu 7 Juli 1999, menunjukkan bahwa partai Islam belum bisa menempatkan dirinya sebaga partai yang bisa diandalkan. Tanpa ada kebersamaan di antara umat tersebut, agaknya sulit untuk mengembangkan dan membumikan dakwah Islam di negara ini oleh sebab mereka ber- konsentrasi pada dinamika partai. Mula-mula partai politik umat Islam kalah bersaing dengan PDI perjuangan yang dipersangkakan sekuler; PPP menjelma menjadi partai jinak apalagi ketika sebagian anggotanya bergabung di PBR; PKB yang mewakili NU juga terpecah; dan seterusnya. Terlepas dari perpolitikan umat Islam Indonesia di era reformasi yang masih belum menguntungkan, posisi kekuatan Islam untuk berkembang dalam segala aspek menarik untuk menjadi obyek kajian. Selanjutnya, dan yang menjadi dinamika utama perkembangan Islam di era reformasi ini, situasi negara telah memunculkan gerakan sosial yang menuntut pemberlakuan syariat Islam pada semua bentuk tatanan. Dalam konteks ini, maka bermunculan organisasi seperti Forum Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Forum Komunikasi Ahli Sunnah Waljamaah (FKSW), Hizbut Tahrir.19 Namun demikian, beberapa kalangan muslim lainnya berpendapat bahwa Islam “tidak meletakkan suatu pola baku tentanng teori negara yang berdasar pada syariat Islam”. Terlepas dari perdebatan ini, yang jelasnya bahwa Islam semakin mengalami perkembangan dengan segala problematikanya, terutama dari aspek peta pemikiran, dan termasuk pengembangan nilai-nilai keagamaan.

        Sehubungan dengan problematika era reformasi bagi bangsa Indonesia, pada kenyataannya sangat menyangkut eksistensi perkembangan Islam itu sendiri dan nasib-masa depannya; apakah ajaran Islam akan semakin pudar bahkan tersingkir dari percaturan hidup bangsa, ataukah sebaliknya akan terjadi respiritulasi dan revivalisasi Islam. Dari asumsi awal bahwa kebangkitan Islam adalah fenomena global yang ada kaitannya dengan era reformasi. Hal ini disebabkan, dakwah Islam mengalami perkembangan semenjak memasuki era reformasi. Islam di Indonesia memasuki era reformasi mengalami perkembangan pesat dan dibuktikan dengan jumlah penduduk Muslim yang mencapai +88%. Penyebaran Islam ke seluruh wilayah tanah air daru kota-kota besar sampai ke daerah-daerah terpencil merupakan wujud dari kegiatan dakwah di era ini. Salah satu ciri dari agama dakwah adalah tertanamnya rasa moral yang tinggi di kalangan pemeluknya untuk menyebarkan dan memperkembangkan agamanya sebagai kewajiban luhur yang diyakini akan mendatangkan ganjaran pahala yang besar dari Tuhan, disamping memberi kepuasan batin bagi dirinya. Dalam Islam, kewajiban itu mendapatkan legitimasi dari Alquran dan hadis-hadis Nabi saw berupa perintah menjadi dā’i sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap Muslim.

     Umat Islam di Indonesia tampaknya memiliki rasa dan tanggung jawab untuk mendakwahkan agama yang dipeluknya. Itulah sebabnya, kegiatan dakwah baik dalam arti berbal (bi lisān al-maqāl) maupun dalam arti praktis (bi lisān al-hāl) merupakan rutinitas umat. Dakwah yang sering diartikan sekadar ceramah dalam arti sempit, minimal sekali kegiatan terlihat dalam bentuk majelis-majelis taklim, khutbah-khutbah, kegiatan memperingati hari-hari besar Islam, pengajian-pengajian agama pada moment-moment tertentu, seperti kematian, perkawinan, aqiqah, hajatan haji, naik rumah baru dan semisalnya. Dalam skala yang lebih luas kegiatan dakwah secara intens dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial keagamaan dari yang bertarap internasional, regional, nasional sampai kepada tingkat lokal. Lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam dari tingkat paling rendah sampai kependidikan tinggi juga aktif melakukan kegiatan-kegiatan dakwah.     

       Di kota-kota besar, kegiatan-kegiatan dakwah demikian marak karena hampir setiap komunitas atau kelompok Muslim aktif me-laksanakan dakwah. Mulai dari lorong-lorong kumuh sampai ke hotel-hotel berbintang, dari kantor- kantor pemerintah sampai perusahaan-perusahaan kecil dan raksasa, pada umunnya mengadakan acara dakwah secara rutin. Bahkan kegiatan dakwah melalui media demikian gencarnya sehingga setiap pagi umat islam di seluruh Indonesia dapat dengan bebas memilih saluran-saluran dakwah di radio dan televisi dan atau membacanya melalui media-media cetak. Di era teknologi informasi ini, internet merupakan media dakwah yang cukup menarik dan menjanjikan di masa depan. Kegiatan dakwah yang begitu gencar dan marak di negeri ini, dari satu segi sangat menggembirakan karena bisa menjadi trade mark dari Islam Indonesia di era reformasi. Tetapi dari segi lain banyak hal yang belum memberi kepuasan, misalnya dari aspek keberhasilan meningkatkan pemahaman penghayatan, pengamalan, kesadaran dan wawasan keislaman di kalangan umat Islam itu sendiri.

      Yang menjadi kendala, dan sekaligus salah satu penomena menarik di Indonesia era reformasi kini adalah munculnya dai-dai atau muballig-muballig yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama secara formal, termasuk artis-artis yang menjadi dai dadakan di bulan suci Ramadhan. Tentu saja, plus minus dari kemunculan artis-artis sebagai dai, meskipun pada umumnya mereka tampil sebagai pembawa acara atau pemandu dari Nara Sumber. Banyak kritikan yang ditujukan kepada mereka, baik dari segi konstum maupun dari segi pengetahuan agama serta sikap dan perilaku mereka sehari-hari yang umumnya tidak sejalan dengan tampilan mereka sebagai pembawa acara dakwah. Termasuk dalam hal ini pelawak-pelawak yang berakwah di media- media tertentu dan menjadikan agama sebagai bahan lawakan. Ajaran-ajaran agama ditangkap dalam maknanya yang kaku dan tidak ada ruang untuk interpretasi yang berbeda. Mereka seringkali mebuat klaim- klaim yang menempatnya diri dan fatwa-fatwanya sebagai yang paling benar sementara orang atau kelompok lain diposisikan sebagai pihak yang salah dan tidak perlu didengar, apalagi ditaati. 

     Sikap seperti inijelas sangat menghambat terjadinya proses pengembangan ajaran-ajaran Islam mengikuti dinamika era reformasi yang berubah terus-menerus. Di sisi lain, munculnya kelompok-kelompok “sempalan” yang begitu semarak di era reformasi merupakan problema tersendiri karena dinamika dari kelompok tersebut begitu tinggi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya yang pada gilirannya berdampak positif bagi pengembangan Islam. Di antara kelompok-kelompok tersebut ada yang sangat berhasil melakukan proses “islamisasi” khususnya secara internal meskipun yang disentuh biasanya terbatas pada aspek ritual dan moral. Segi negatif dari kelompok-kelompok ini adalah menyemarakkan kembali ekslusifitas di tubuh Islam yang mestinya sedapat mungkin dihindari dan menimbulkan kesan semakin terpecahnya umat Islam dalam sekte-sekte. 

       Perpecahan umat Islam ke dalam aliran-aliran yang berdampak pada renggangnya solidaritas dan Ukhuwwah Islamiyyah merupakan masalah abadi yang dihadapi oleh umat Islam. Bahkan boleh dikatakan bahwa masalah ini bersifat universal untuk semua agama di dunia ini. Secara umum, khususnya di Indonesia, kemajemukan tersebut memiliki nilai-nilai positif dan negatif. Segi positifnya adalah terbukanya kesempatan untuk berkompetisi secara fair dalam beramal sālih, ber amar ma’rūf dan ber nahi mungkar. Bahkan jalinan kerjasama antara kelompok Islam bisa mewujudkan kekuatan Islam yang dahsyat dan diperhitungkan. Kemajemukan itu juga menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang memiliki khazanah ajaran yang sangat kaya dan memberi peluang yang luas bagi umatnya untuk mengembangkan ajaran-ajaran agamanya sesuai dengan tuntutan reformasi perspektif Islam.

       Perbedaan- perbedaan di kalangan umat Islam adalah merupakan watak esensial dari agama yang dibawah Nabi Nabi saw. Sisi negatifnya adalah terbukanya potensi disintegrasi di kalangan umat Islam karena gesekan-gesekan antar aliran dan kelompok seringkali tidak bisa dihindari. Gesekan-gesekan ini terkadang meningkat menjadi perseteruan tajam yang meretakkan hubungan antar umat Islam. Sisi positif dari kemajemukan ini mestinya lebih ditonjolkan agar umat Islam terbiasa dalam suasana perbedaan tanpa harus saling mengklaim, benar atau salah. Dapat dirumuskan bahwa dalam pemetaan sejarahnya, perkembangan Islam diyakini akan lebih baik di era reformasi ini dibandingkan dengan era sebelumnya. Dikatakan demikian, era reformasi ini organisasi-organisasi Islam semakin bertambah, dan partai-partai Islam dalam konteks kenegaraan diberi peluang yang sangat bebas menyampaikan aspirasinya.

C. Hubungan Islam dan Pancasila

     Hubungan Islam dan Pancasila tidak bisa dilepaskan dari pertarungan ideologis di dalam tubuh umat Islam sendiri, yakni antara demokrat Islam sejati dengan penganut Islam Politik. Partai Masyumi yang berdiri pada November 1945 sebenarnya adalah partai Muslim demokrat par excellent, yang mana perjuangan politiknya adalah pembelaan terhadap gagasan demokrasi Islam bukan Negara Islam. Pada tahun-tahun pertama, Masyumi dipimpin oleh Muslim demokrat sejati yang mampu memahami substansi Al-Qur’an dan gagasan modernitas Barat. Namun, karena sifat federatifnya, Masyumi juga dipengaruhi oleh kelompok Muslim Politik Ortodoks. Pertarungan antara kedua faksi politik ini mendorong Masyumi terjebak pada schizophrenia politik: memperjuangkan syariah atau demokrasi. 

      Menjelang Kemerdekaan Indonesia, Masyumi memainkan peran penting dalam pembentukan Negara baru Indonesia: apakah Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim akan menjadi Negara Islam atau Negara Sekular. Kelompok Islam cenderung menuntut sebuah Negara Pancasila yang menjamin umatnya menjalankan syariat Islam. Nalar syariatik ini ditolak oleh kelompok nasionalis dan agama lain yang berdalih bahwa postula “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” merupakan sebuah pengkhianatan terhadap realitias kemajemukan suku, agama, adat-istiadat sebagai sebuah living phenomenon di Indonesia sejak ribuan tahun silam. Tokoh Masyumi dan Muhammadiyah yang dikenal sebagai demokrat sejati Ki Bagus Hadikusumo dan tokoh Muslim lainnya kemudian menerima keberatan pihak lain untuk menghapus tujuh kata di dalam Piagam Jakarta 22 Juli 1945. Penghapusan inilah yang kemudian melahirkan kontroversi di kalangan umat Islam. 

  Lagi-lagi, Muslim demokrat seperti Mohammad Roem dari Partai Masyumi melihat penghapusan tersebut sama sekali tidak mengkhianati aspirasi Islam dan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sama sekali tidak bertabrakan dengan ajaran Islam. Demokrat Muslim juga memahami bahwa tidak ada satupun ayat Qur’an dan Hadis Nabi yang meniscayakan sebuah Negara Islam. Sebaliknya, terdapat dua faksi Islam Politik yang sama-sama menuntut pemberlakuan Piagam Jakarta: faksi islam syariatik yang menuntut penerapan syariat Islam di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan faksi islam radikal yang memperjuangkan Negara Islam yang diwakili oleh SM Kartosuwiryo, pendiri Negara Islam Indonesia Kekecewaan Islam Politik semakin menjadi ketika Partai Masyumi dilikuidasi oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960, dengan dalih pemimpin teras Masyumi terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Pelarangan ini diperparah oleh “pemasungan politik” terhadap para tokoh-tokoh partai. Tak heran, ketika Orde Lama tumbang, para bekas pemimpin Masyumi mengharapkan Presiden Soeharto merehabilitasi nama mereka dan mencabut pelarangan Masyumi.

     Meski demikian, Presiden Soeharto menolak untuk merehabilitasi partai dan tokohnya, karena keterlibatan mereka dengan PRRI/Permesta pada tahun 1958. Penolakan ini diduga melahirkan proses radikalisasi di kalangan tokoh eks-Masyumi, yang terlembagakan dalam pembentukan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. DDII yang diketuai oleh Mohammad Natsir menerbitkan sebuah majalah Media Dakwah yang isinya adalah tulisan-tulisan yang anti mistik Kejawen, Yahudi dan Amerika. DDII menandai mutasi ideologis demokrat Muslim Masyumi menuju gagasan-gagasan yang cenderung sektarian dan dianggap sebagai pemicu lahirnya kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia melalui pengiriman mahasiswa-mahasiswa Muslim ke Arab Saudi dan Negara Timur Tengah lainnya berkat berbagai beasiswa hasil kerja sama DDII dengan Rabithah Alam Islami.

     Walhasil, awal tahun 1980, pemimpin-pemimpin baru kelompok Islam radikal adalah mereka yang baru kembali belajar dari Timur Tengah. Awal tahun 1980 juga ditandai dengan masuknya paham wahabisme, Ikhwanul Muslimin yang membangun kaderisasi secara sembunyi melalui pesantren dan sistem usroh. Radikalisasi Islam pada tahun 1980-an ditandai dengan penolakan Islam Politik terhadap pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila, di mana setiap ormas dan partai politik harus menjadikan Pancasila sebagai dasar organisasi/partai. Bagi kelompok ini, menerima Pancasila sebagai dasar ideologi sama saja dengan murtad dan kekafiran karena hal tersebut bertantangan dengan ajaran Islam. Islam, menurut mereka, adalah satu-satunya ideologi yang tidak tergantikan oleh ideologi apapun. Kelompok Islam radikal inilah yang pada Reformasi muncul ke publik melalui beragam organisasi massa seperti, Majelis Mujahidin Indonesia, Laskar Jihad, Ikhwanul Muslimin dan lain-lain. 

       Reformasi juga diikuti oleh kebangkitan gerakan-gerakan Islam politik yang pada masa Orde Baru menjadi korban langsung proyek depolitisasi Islam politik. Kemunculan kembali mereka ditandai dengan tuntutan amandemen Pasal 29 UUD 1945 yang mengatur kebebasan beragama, yakni supaya pasal tersebut mengatur pemberlakuan syariat Islam secara kaffah bagi para pemeluknya. Kemudian pada periode 1998-1999, lahir 181 partai politik yang 42 di antaranya adalah partai Islam. Di antara 42 partai Islam tersebut, hanya 20 partai yang bisa ikut Pemilu 1999. Sedangkan yang bisa masuk Senayan hanya 10 partai Islam atau berlandaskan nilai-nilai Islam. Dengan total suara sebesar 37.5%.8 Lalu pada 2004, Partai Islam hanya diwakili oleh Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Bulan Bintang yang panen suara sebesar 18%.9 Pada Pemilu 2009, hanya PKS dan PPP saja partai Islam yang berhasil menempatkan wakilnya di DPR. Dan yang menarik, gagasan untuk kembali pada Piagam Jakarta atau syariat Islam telah ditarik dari diskursus dan perjuangan parlemen partai-partai Islam tersebut. Hal ini kemungkinan besar karena basis dukungan politik terhadap gagasan tersebut rendah. Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2007 mengungkapkan bahwa 57% Muslim Indonesia menolak penerapan syariat Islam. 

       Tercatat hanya 33% saja yang setuju syariat. Hasil survei yang dilakukan pada tahun 2005, 2006 dan 2007 juga mengingkapkan degradasi dukungan terhadap partai-partai politik Islam. Meski demikian, bukan berarti bahwa gagasan dan aksi sektarianisme primordial tidak eskalatif grafiknya di luar parlemen. Muncul gerakan-gerakan keagamaan non parlementer yang terus memperjuangkan pandangan keagamannya untuk dijadikan ‘pandangan bersama’ seperti Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin, Jamaah Ansar wa Tauhid, Ikhwanul Muslimin, dan sebagainya. Gerakan-gerakan ini diketahui memiliki komitmen syariah yang tinggi, yang ditunjukkan dalam dakwah dan aksi-aksi mereka di lapangan. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, terungkap gerakan NII KW II yang diketuai Panji Gumilang, Pengasuh Pondok Pesantren al-Zaytun di Indramayu Jawa Barat, yang melakukan indoktrinasi dan radikalisasi di kalangan generasi muda muslim, terutama di kalangan pelajar SMA dan mahasiswa perguruan tinggi.

       Generasi muda tersebut didik dalam sebuah doktrin yang terang-terang anti Pancasila dan berniat untuk mendirikan Negara Islam menggantikan negara Pancasila. Oleh kelompok anti Pancasila ini, UU Otonomi Daerah 10 tahun 2004 dan UU Pemerintah Daerah No 32 tahun 2004 dimanfaatkan untuk meratifikasi peraturan daerah (perda) selaras dengan syariah, Hingga sekarang, tercatat 63 daerah propinsi dan kabupaten yang berhasil menerapkan peraturan yang berbasis pada syariat Islam seperti di Aceh, Padang, Banten, Cianjur, Tangerang, Jombang, Bulukumba dan Sumbawa. Meski pendukung “perda syariah” bukan hanya partai-partai Islam saja tetapi juga partai nasionalis seperti Golkar dan PDIP, perda-perda ini membuktikan bahwa kampanye penerapan syariah Islam yang dilakukan oleh gerakan Islam pro- syariah cukup berhasil. Selain itu, keberhasilan ini dalam beberapa hal menandakan “kerja sama” yang solid antara kelompok Islam Politik di parlemen dengan non parlemen.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

     Berdasar dari uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan Islam di Indonesia, bermula pada abad ke-13 M di mana para pendakwah agama (dai/muballig) senantiasa giat menyebarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat, dan selanjutnya agama Islam mengalami perkembangan pada abad ke-17 M karena penyebaran agama ini mendapat dukungan dari raja-raja di berbagai wilayah nusantara. Di sisi lain, perkembangan Islam dapat dilihat dari banyaknya organisasi-organisasi Islam yang muncul, baik pada masa orde lama dan orde baru. Kemudian setelah memasuki era reformasi yang bermula pada tanggal 21 Mei 1997, agama Islam di negara ini semakin mengalami perkembangan yang signifikan. Pada era ini, bukan saja partai Islam semakin banyak, tetapi organisasi Islam semakin banyak pula seperti Forum Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Forum Komunikasi Ahli Sunnah Waljamaah (FKSW), Hizbut Tahrir. 

       Selanjutnya ciri khas lain perkembangan Islam di Indonesia di era reformasi, juga dibuktikan dengan jumlah penduduk Muslim yang semakin meningkat mencapai +88%. Hal ini dikarenakan kegiatan dakwah di era reformasi juga semakin meningkat dan mengalami perkembangan. Hubungan Islam dan Pancasila tidak bisa dilepaskan dari pertarungan ideologis di dalam tubuh umat Islam sendiri, yakni antara demokrat Islam sejati dengan penganut Islam Politik. Partai Masyumi yang berdiri pada November 1945 sebenarnya adalah partai Muslim demokrat par excellent, yang mana perjuangan politiknya adalah pembelaan terhadap gagasan demokrasi Islam bukan Negara Islam. 

    Pada tahun-tahun pertama, Masyumi dipimpin oleh Muslim demokrat sejati yang mampu memahami substansi Al-Qur’an dan gagasan modernitas Barat. Namun, karena sifat federatifnya, Masyumi juga dipengaruhi oleh kelompok Muslim Politik Ortodoks. Pertarungan antara kedua faksi politik ini mendorong Masyumi terjebak  pada schizophrenia politik: memperjuangkan syariah atau demokrasi.


 DAFTAR PUSTAKA

 M. Dahlan M, “Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia Era Reformasi”, Jurnal Adabiyah 11, no 1 (2011): h.55-77 

M. Sauki, “Perkembangan Islam di Indonesia Era Reformasi”, Jurnal Studi Islam 10, no 2 (2018): h. 12-15

Andar Nubowo, “Islam dan Pancasila di Era Reformasi: Sebuah Reorentasi Aksi”, Jurnal Keamanan Nasional 1, no 1 (2015): h. 63-68

Karim, M. Abdul, Hubungan Agama dan Negara Pasca Reformasi, Jurnal Al- mawarid XIII, (2005): h. 26-33.

Nubowo, Andar, Islam dan Pancasila di Era Reformasi: Sebuah Reformasi Aksi, Jurnal Keamanan Nasioal 1, no. 1 (2015): h. 62-78.

Ridwan, MK, Penafsiran Pancasila dalam Perspektif Islam: Peta Konsep Integrasi, Jurnal Diologia 15, no 2, (2017): h. 207-224.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ISLAM

By: Amirullah Islam (bahasa Arab: ٱلْإِسْلَام, translit. al-’Islām, Tentang suara ini dengarkan) adalah sebuah agama (Din, bahasa Arab: دٖين...